Wahai Hati Dan Fikiran Lihatlah Mereka
Dari puisi " Terimakasih Ayah Dan Ibu Oleh Sitrian Ain Badaruddin"
ku rombak menjadi prosa penuh cinta untukmu ibu (Ibu Hanifah) dan untukmu juga ayah (Ayah Rohim)
Ku buat ini jauh 2017 yang lalu, ketika kuliah di malang dan aku baru merasakannya,.
Cinta kasih bidadari dan malaikat di hidupku,.
Cinta kasih bidadari dan malaikat di hidupku,.
Prosa ini berjudul " Wahai Hati dan Fikiran Lihatlah Mereka"
Segenggam kasih ditelapak kakimu aku akan selamat dari siksa nya.
Aku ingat waktu kecil dikala isak tangisku tiada terhenti, dia akan datang tanpa ragu meredam tangisku.
Aku merasakan hinggap kulit kasarnya namun ku nyaman di belai olehnya,
dengan hati-hati dia menggendongku, membawaku pergi dari tempatku kesakitan.
Itu adalah moment ketika aku kecil dan aku baru merasakan nikmatnya.
Pada suatu ketika saat langit kian mendung pukul dua belas seperempat siang
aku di sergap kejadian tak terduga.
Rahmatnya ( illahi ) turun jadi hujan membuatku segar
Tapi.. juga menggigil bertanya-tanya?!
Bu dimana?!
Hujan makin deras mengguyur pekarangan rumah, lalu muncullah wajahmu,
Perasaan dingin pun berubah jadi hangat, angin menusuk rongga baju tidak lagi terasa, dengan membawa se-onggok pisang dari sawah dia membuatkanku hidangan.
Ahh ya, hidangan yang biasa dibuat ketika musim hujan, parutan kelapa yang direndam di air dan di peras, pisang yang dikupas lalu di rebus didalamnya, hingga gula jawa sebagai pemanis ditaburkan diatasnya dan diaduk rata.
Yahh,. mungkin kalian sudah faham itu,
itu adalah hidangan penghangat sepanjang masa, yaitu kolak pisang.
Namun bukan apa yang dia hidangkan yang membuat bahagia hati ini menjadi anaknya,
tapi.. perjuangan yang dilakukannya tak akan terbalaskan olehku.
Dia adalah secantik-cantiknya bidadari dengan kerutan wajahnya yang mulai terlihat,
Tatapannya sayu penuh makna memperlihatkan banyak pilu yang ditanggung demi diriku
Apalagi yang telah ku kufurkan dari nikmat bidadari yang telah melahirkanku
dengan berdarah-darah dan menjagaku penuh derita.
Hingga kini di umur yang sudah lebih satu dekade,
Aku tak tahu berapa beban yang kau tanggung untukku.
disamping mu juga adalah sosok yang tak kan terbalaskan olehku.
Kerja keras selalu tersemat pada pundaknya,
Merasakan pahit, asam, asin hidup untuk manis yang sediakan nya untukku.
Terik matahari menyongsong seluruh tubuh, hujan deras mengguyur tubuh dia nikmati untuk teduhku.
Sampai saat ini ia masih bergulat dengan nasib malang nya untuk nasib cerahku,
Menyiksa dirinya untuk memberi nyaman padaku.
Aku berkata pada diri ku
"Sungguh ayah ku tak habis fikir, kau begitu egoisnya untukku, berikanlah sedikit ruang untukku merasakannya juga. Aku lebih tak kuasa bila nasib, dan derita ini hanya kau dan ibu yang menanggung semua."
Hingga akhirnya, aku mulai berpesan padamu wahai hati dan pikiran
"Coba rasakan dan fikirkan apa yang perlu kau perdebatkan lagi tentang kedua sosok itu untuk kau kasihi, bila nanti mereka sudah tidak lagi bersamamu !
Apa tidak terlalu terlambat menyesali nya?
dan wahai hati dan fikiran masih diam kah?
Melihat mereka berdua menanggung semua pilu ini, hingga tak tergerak untuk merasakannya
Meski bagai sebotol luka dan kau hanya setetes menikmati nya".
Untuk Bidadari dan Malaikat Hidupku
Ayah dan Ibu
Komentar
Posting Komentar